Kredit Perbankan Melambat, Hanya Tumbuh 8,88 Persen di April 2025
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat kredit perbankan melambat. Per April 2025, kredit perbankan tumbuh 8,88 persen secara tahunan (yoy), lebih rendah dibandingkan Maret 2025 yang sebesar 9,16 persen yoy.
“Peran kredit perbankan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi perlu terus ditingkatkan. Kredit pada April 2025 tumbuh sebesar 8,88 persen yoy, lebih rendah dari 9,16 persen yoy pada Maret 2025,” ujar Perry Warjiyo, Gubernur BI dalam Konferensi Pers RDG, Rabu, 21 Mei 2025.
Perry menjelaskan, dari sisi penawaran, minat penyaluran kredit oleh bank (lending standard) masih baik, terutama pada sektor pertanian, LGA (Listrik, Gas, dan Air), dan jasa sosial.
Kondisi likuiditas perbankan secara umum masih memadai, namun pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) cenderung melambat dari 5,51 persen yoy pada awal Januari 2025, menjadi 4,55 persen yoy pada April 2025.
“Kondisi ini mendorong persaingan dalam pendanaan antar bank dan perlunya memperluas sumber pendanaan lainnya di luar DPK,” jelas Perry.
Dari sisi permintaan, kata Perry, pertumbuhan kredit terutama dikontribusikan oleh sektor industri, pengangkutan, dan jasa sosial. Sedangkan kontribusi pertumbuhan kredit sektor konstruksi dan perdagangan serta sektor-sektor lainnya masih terbatas.
Berdasarkan kelompok penggunaan, pertumbuhan kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi, masing-masing sebesar 4,62 persen yoy, 15,86 persen yoy, dan 8,97 persen yoy.
Perry juga melaporkan bahwa pembiayaan syariah tumbuh sebesar 8,85 persen yoy, sementara kredit UMKM tumbuh sebesar 2,60 persen yoy.
Ke depan, tambah Perry, berbagai upaya perlu terus didorong untuk meningkatkan penyaluran kredit, baik dengan penurunan suku bunga dan perluasan sumber dana perbankan, maupun peningkatan permintaan dari sisi sektor riil, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Sehubungan dengan itu, BI akan terus memperkuat kebijakan makroprudensial yang akomodatif untuk mendorong pertumbuhan kredit yang lebih tinggi, termasuk mengoptimalkan instrumen Rasio Pendanaan Luar Negeri Bank (RPLN), Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM), dan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM). (*)