Oleh Paul Sutaryono, pengamat perbankan, Assistant Vice President BNI (2005-2009), Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB) UPDM Jakarta, dan Advisor Pusat Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (PPBI) Unika Atma Jaya Jakarta.
PADA 5 Juni 2025, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) secara resmi mengakuisisi 99,99 persen saham PT Bank Victoria Syariah (BVIS) senilai Rp1,5 triliun. Kemudian, BTN akan menggabungkan Bank Victoria Syariah dengan unit usaha syariah (UUS) milik BTN, BTN Syariah, sebagai bagian dari proses pemisahan (spin off) UUS dari induknya. Apa saja tantangan ke depan?
Sebelumnya, BTN berencana mengakuisisi Bank Muamalat yang akhirnya batal sehingga BTN memeluk mesra Bank Victoria Syariah. Merger BTN Syariah dengan Bank Victoria Syariah akan menjadi bank umum syariah (BUS) dengan nama Bank Syariah Nasional. Hal itu bertujuan mewujudkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12 Tahun 2023 tentang UUS yang efektif berlaku pada 12 Juli 2023.
Melalui aturan tersebut, OJK mewajibkan UUS bank umum konvensional (BUK) untuk melakukan pemisahan ketika telah memiliki total aset 50 persen dari total aset BUK dan/atau minimal Rp50 triliun paling lambat 31 Desember 2026. Karena itu, meski masih tersedia waktu sekitar 1,5 tahun, BTN segera mewujudkan merger tersebut paling cepat Oktober 2025.
Bagaimana kinerja BUS (tidak termasuk UUS)? Statistik Perbankan Syariah Indonesia terbaru mencatat pertumbuhan pembiayaan naik dari 8,87 persen per April 2025 menjadi 9,18 persen atau Rp661,22 triliun per Mei 2025.
Sebaliknya, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) melambat dari 7,08 persen menjadi 5,99 persen atau Rp725,43 triliun. Sementara, financing to deposit ratio (FDR) naik dari 88,29 persen menjadi 90,57 persen, masih dalam ambang batas ideal menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar 78 persen-92 persen. Artinya, pembiayaan tumbuh moderat.
Tingkat profitabilitas yang tersirat pada rasio imbal hasil aset (return on assets/ROA) tampak stabil pada angka 1,92 persen, di atas ambang batas 1,5 persen. Intinya, kualitas aset perbankan syariah tercatat baik.
Sementara itu, rasio kredit bermasalah (non performing financing/NPF) gross tercatat 2,28 persen dengan NPF net 0,92 persen. Angka tersebut masih jauh di bawah ambang batas aman 5 persen. Adapun total aset perbankan syariah mencapai Rp942,71 triliun dengan pangsa pasar (market share) 7,31 persen dari perbankan nasional, menurun dari 7,44 persen pada bulan sebelumnya.
Aneka Jurus Andalan
Lantas, apa saja tantangan Bank Syariah Nasional? Apa saja jurus andalan yang perlu dimainkan untuk menjawab tantangan itu?
Pertama, apa tujuan merger? Menurut Bank Indonesia (BI), konsolidasi perbankan memiliki tiga tujuan. Satu, untuk meningkatkan economies of scale dan economies of scope. Dengan demikian, penggabungan beberapa bank akan menghasilkan sinergi dalam bentuk efisiensi biaya operasional untuk menghasilkan diversifikasi produk perbankan yang lebih baik.
Dua, untuk meningkatkan kemampuan permodalan guna mendukung pertumbuhan ekonomi. Konsolidasi amat diharapkan dapat mendorong bank untuk melakukan ekspansi kredit dengan lebih baik dan terjaga (sustainable). Pertumbuhan kredit yang subur bermanfaat untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi.
Tiga, untuk meningkatkan daya saing perbankan yang didukung oleh bank-bank yang maju dan sehat dalam menghadapi persaingan global.
Kedua, Bank Syariah Nasional digadang-gadang menjadi BUS berskala besar, bahkan terbesar kedua setelah Bank Syariah Indonesia (BSI). Dengan bahasa lebih bening, BUS baru itu bakal menjadi pesaing BSI sebagai pemimpin pasar (market leader) di industri perbankan syariah nasional.
Sejatinya, dari sisi total aset, BUS baru itu tentu saja belum sepadan dengan BSI yang memiliki total aset sekitar Rp401 triliun. Namun, BTN sebagai “bapaknya” akan menjadikan Bank Syariah Nasional sebagai BUS besar dalam bisnis properti syariah, terutama kredit pemilikan rumah (KPR) syariah. Hal itu sesuai dengan bisnis inti BTN sekaligus sebagai pemimpin pasar dalam bisnis tersebut. Langkah strategis itu seiring dengan rencana OJK untuk melahirkan dua-tiga bank syariah sebagai pesaing BSI.
Ketiga, mimpi menjadi BUS berskala besar itu bukan isapan jempol belaka. Mengapa? Lantaran, Bank Victoria Syariah memiliki 102 kantor cabang yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Manado, dan Bali.
Itulah keunggulan komparatif bagi BTN yang mengembangkan kantor cabang sebagai saluran distribusi dengan cara anorganik.Cara itu bagai menanam pohon uang dengan cara mencangkok sehingga menghasilkan buah manis dengan segera.
Pentingnya Ekosistem
Keempat, rencana besar untuk menjadi pemain bisnis properti syariah itu sekaligus untuk mendukung Program Pembangunan 3 Juta Rumah Setahun yang diusung Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP). Program raksasa itu merupakan tiga kali Program Sejuta Rumah pada era Jokowi.
Untuk itu, Kementerian PKP perlu merangkul Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Mengapa? Karena, BP Tapera telah mempunyai ekosistem pembiayaan perumahan yang memadai.
Pada 25 Januari 2023, pemerintah telah membentuk Sekretariat Ekosistem Pembiayaan Perumahan sebagai langkah awal dalam menyelaraskan seluruh upaya pelaksanaan pemenuhan hunian agar berjalan optimal. Termasuk, upaya-upaya pendanaan kreatif.
Sekretariat ini merupakan wadah koordinasi antar-stakehoders di sektor pembiayaan perumahan. Hal itu bertujuan untuk membuka jalan bagi terciptanya sebuah rencana kerja sama pengembangan sektor pembiayaan perumahan yang harmonis, efisien, dan efektif.
Peresmian Sekretariat Ekosistem Pembiayaan Perumahan ini ditandai dengan penandatanganan memorandum of understanding (MoU). Penandatanganan MoU dilakukan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat/PUPR), Ditjen Kekayaan Negara (Kementerian Keuangan), dan PT Sarana Multigriya Finansial (Persero).
Selain itu, penandatanganan komitmen bersama anggota Ekosistem Pembiayaan Perumahan yang dilakukan oleh BP Tapera, BTN, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas).
MoU tersebut memiliki beberapa tujuan. Satu, sebagai komitmen bersama untuk bersinergi melalui forum koordinasi antarkementerian/lembaga dalam rangka pengembangan perumahan sesuai dengan fungsi, tugas, dan kewenangan masing-masing.
Dua, untuk menyusun rekomendasi kebijakan penguatan, baik pasar pembiayaan primer perumahan maupun pasar pembiayaan sekunder perumahan. Tiga, untuk melakukan sinergi dari para pihak guna mendukung pengembangan perumahan.
Ekosistem pembiayaan perumahan itu meliputi sisi penawaran (supply side) dan sisi permintaan (demand side). Pada sisi penawaran terdapat empat kementerian, yakni Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Kementerian PUPR. Pada sisi permintaan terdapat Kementerian Keuangan.
Apa peran mereka masing-masing? Kementerian Agraria dan Tata Ruang menyediakan bank tanah (land bank) dan perizinan. Sementara, Kementerian Dalam Negeri memasok bahan bangunan dan bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang memberikan izin.
Kemudian, Kementerian BUMN mengarahkan BUMN perumahan, Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dan Asosiasi Pengembang, dalam penyediaan kredit konstruksi dan infrastruktur. Sementara, Kementerian PUPR mengarahkan Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3) sehingga tersedia rumah yang siap huni.
Dari sisi permintaan, Kementerian Keuangan bertugas mengarahkan dan menyediakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang menitikberatkan pada masyarakat miskin.
Di sinilah peran BP Tapera sebagai konsolidator pembiayaan perumahan. BP Tapera juga berperan sebagai Pusat Informasi Perumahan (Housing Information Center), didukung big data perumahan yang dikelola oleh BP Tapera sebagai konsolidator pembiayaan perumahan.
Ekosistem itu menjadi ujung tombak keberhasilan BP Tapera dalam melaksanakan fungsinya. Fungsi BP Tapera adalah mengatur, mengawasi, dan tindak turun tangan terhadap pengelolaan Tapera. Selama ini, BP Tapera menangani perumahan dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan dana APBN.
Bolehlah kita melirik kinerja BTN dan BTN Syariah sepanjang 2024. Dan, inilah lima besar penyalur FLPP pada 2024: BTN dengan 124.500 unit rumah senilai Rp15,68 triliun, BTN Syariah dengan 35.000 unit senilai Rp4,41 triliun, BRI 20.000 unit senilai Rp2,52 triliun, BNI 14.200 unit senilai Rp1,78 triliun, dan BJB dengan 8.500 unit senilai Rp1,07 triliun.
Keempat, rencana besar untuk menjadi pemain bisnis properti syariah itu sekaligus untuk mendukung Program Pembangunan 3 Juta Rumah Setahun yang diusung Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP). Program raksasa itu merupakan tiga kali Program Sejuta Rumah pada era Jokowi.
Untuk itu, Kementerian PKP perlu merangkul Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Mengapa? Karena, BP Tapera telah mempunyai ekosistem pembiayaan perumahan yang memadai.
Pada 25 Januari 2023, pemerintah telah membentuk Sekretariat Ekosistem Pembiayaan Perumahan sebagai langkah awal dalam menyelaraskan seluruh upaya pelaksanaan pemenuhan hunian agar berjalan optimal. Termasuk, upaya-upaya pendanaan kreatif.
Sekretariat ini merupakan wadah koordinasi antar-stakehoders di sektor pembiayaan perumahan. Hal itu bertujuan untuk membuka jalan bagi terciptanya sebuah rencana kerja sama pengembangan sektor pembiayaan perumahan yang harmonis, efisien, dan efektif.
Peresmian Sekretariat Ekosistem Pembiayaan Perumahan ini ditandai dengan penandatanganan memorandum of understanding (MoU). Penandatanganan MoU dilakukan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat/PUPR), Ditjen Kekayaan Negara (Kementerian Keuangan), dan PT Sarana Multigriya Finansial (Persero).
Selain itu, penandatanganan komitmen bersama anggota Ekosistem Pembiayaan Perumahan yang dilakukan oleh BP Tapera, BTN, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas).
MoU tersebut memiliki beberapa tujuan. Satu, sebagai komitmen bersama untuk bersinergi melalui forum koordinasi antarkementerian/lembaga dalam rangka pengembangan perumahan sesuai dengan fungsi, tugas, dan kewenangan masing-masing.
Dua, untuk menyusun rekomendasi kebijakan penguatan, baik pasar pembiayaan primer perumahan maupun pasar pembiayaan sekunder perumahan. Tiga, untuk melakukan sinergi dari para pihak guna mendukung pengembangan perumahan.
Ekosistem pembiayaan perumahan itu meliputi sisi penawaran (supply side) dan sisi permintaan (demand side). Pada sisi penawaran terdapat empat kementerian, yakni Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Kementerian PUPR. Pada sisi permintaan terdapat Kementerian Keuangan.
Apa peran mereka masing-masing? Kementerian Agraria dan Tata Ruang menyediakan bank tanah (land bank) dan perizinan. Sementara, Kementerian Dalam Negeri memasok bahan bangunan dan bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang memberikan izin.
Kemudian, Kementerian BUMN mengarahkan BUMN perumahan, Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dan Asosiasi Pengembang, dalam penyediaan kredit konstruksi dan infrastruktur. Sementara, Kementerian PUPR mengarahkan Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3) sehingga tersedia rumah yang siap huni.
Dari sisi permintaan, Kementerian Keuangan bertugas mengarahkan dan menyediakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang menitikberatkan pada masyarakat miskin.
Di sinilah peran BP Tapera sebagai konsolidator pembiayaan perumahan. BP Tapera juga berperan sebagai Pusat Informasi Perumahan (Housing Information Center), didukung big data perumahan yang dikelola oleh BP Tapera sebagai konsolidator pembiayaan perumahan.
Ekosistem itu menjadi ujung tombak keberhasilan BP Tapera dalam melaksanakan fungsinya. Fungsi BP Tapera adalah mengatur, mengawasi, dan tindak turun tangan terhadap pengelolaan Tapera. Selama ini, BP Tapera menangani perumahan dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan dana APBN.
Bolehlah kita melirik kinerja BTN dan BTN Syariah sepanjang 2024. Dan, inilah lima besar penyalur FLPP pada 2024: BTN dengan 124.500 unit rumah senilai Rp15,68 triliun, BTN Syariah dengan 35.000 unit senilai Rp4,41 triliun, BRI 20.000 unit senilai Rp2,52 triliun, BNI 14.200 unit senilai Rp1,78 triliun, dan BJB dengan 8.500 unit senilai Rp1,07 triliun.